MEMBANGUN LITERASI SANTRI
By: Farham Rahmat
Santri Khatamun Nabiyyin
Sayyidina Ali adalah tokoh islam pertama yang merintis literasi, sering disebut Al-kuttab. Beliau menuliskan semua ilmu-ilmu yang dituturkan dari Rasulullah. Disebutkan dalam riwayat bahwa Ali bertemu Rasul setiap hari untuk belajar mengajar, dari sana ditulis ilmu dari penuturan langsung Rasulullah. Kemudian direkam dalam tulisan Ali bin thalib yang dikenal Al-Jami’ (Shahifah Ali), Motivasi Ustadz Akbar Saleh kepada santri Khatam menulis, juma’at 22 Maret 2019 di café ilmu pondok pesantren khatamun nabiyyin.
Ali mempunyai karya tulis, dikumpulan dari surat menyurat kepada gubenur Malik Al-asytar, muawiyah, raja-raja saat itu dan beberapa sahabat lainnya. Beliau juga berkhutbah, dan berwasiat kepada anak anaknya, semua ada dalam bentuk tulisan. Kemudian digabung dalam satu kitab Nahj al-Balaghah (puncak kefasihan). Sementara sastra arab tidak habis-habis dikaji dari dulu sampai sekarang. Menggambarkan keluasan sastra arab. Dunia islam mengembangkan sastra arab, satu satunya bahasa yang selalu berkembang dan selalu up to date. Meskipun demikian, belum ada satu pun karya tulis sastra arab yang mampu mengalahkan ketinggian sastra Ali. Lanjut Ustadz.
Ali juga menyampaikan khutbah secara reflek, ketika dituangkan dalam tulisan, isi khutbahnya semua huruf hijaiyyah, dan tidak ada satu pun huruf alif. Juga pernah berkhutbah yang tidak satupun huruf bertitik, seperti ش ق ث ت ب ي خ ز ظ ج ن ف ض . Sementara Sebagian besar huruf hijaiyyah adalah huruf yang bertitik. Dahsyatnya Ali mampu merajut hanya huruf tidak bertitik itu menjadi kata dan kalimat namun penuh dengan makna.
Literasi abu aswad adduali ahli sastra arab, Ali mengajarkan kaidah nahwu kepadanya yang sampai sekarang masih dipelajari. Ali berfikiran jangka panjang, sehingga menurunkan ilmunya kemudian dalam bentuk tulisan. Itulah mengapa literasi itu sangat penting. Semua sejarah tidak bisa lepas dari literasi, tergilas atau terkenang sejarah ditentukan seberapa kuat peradaban literasinya . Ketika sebuah peradaban tidak mengenal literasi maka pasti ia akan mati, dan ditelan sejarah. Karena gerakan peradaban diwarnai dengan kekuatan literasi.
Ustadz Akbar melanjutkan, Kekuatan literasi juga memberikan nilai toleransi yang kuat. Mengabadikan ilmu dan mencerdaskan kehidupan bangsa, mampu menepis fenomena Ikhtilaful juhala (perdebatan dikalangan orang awam), jika ini terjadi akan sulit mencari titik temunya disana masing masing mempertahankan pendapatnya dan menyebabkan matinya kepakaaran. Lantas, Kita terlena dengan sebutan toleran. Bukan karena islam Indonesia secara dzat toleran, namun dari culture, dan karakternya memang beresensi sopan dan santun.
Kekuatan literasi Indonesia sangat tertinggal. Tidak heran sebagian muslim hari ini menggunakan bahasa yang kasar dan saling mencela menjadi akibatnya, padahal kita tahu ini bukan karakter indonesiawi, melainkan karakter islam dari luar. Literasi Indonesia hanya mampu menghasilkan karya tulis hanya 2000 an/tahun. Malaysia menghasilkan karya 7000 buku terbit. Sementara IQ rakyat Indonesia lebih tinggi. Thailand sekitar 10.000 buku. Padahal jumlah penduduk Indonesia lebih banyak ketimbang Thailand. Belum lagi negara-negara maju seperti uni eropa, Russia dan amerika, sangat tertinggal jauh dari mereka.
Motivasi Al-qur’an mengajarkan literasi menulis dalam surah Al-Alaq: 1-5.
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Mengajarkan dengan pulpen, kemudian dari situ diajarkan belajar mengajar. Muatan perintahnya bukan belajar islam, dari emosional. Belajar dari ustadz yang mengedepankan emosi. Jika demikian keadaanya Kita terancam pangkas generasi, karenaa terlalu membludak manusia hari demi hari, potensi terjadi perang saudara atau genosida sebagai solusi hidup.. pasca peran maka peradaban akan kembali ke masa seratus lalu. Generasi hari ini bisa jadi mirip dengan kakek buyut kita dahulu. Generasi hari ini cara berfikirnya seperti nenek buyut kita dulu.
Banyak orang yang mengambil pelajaran dari ujaran kebencian, bukan dari literasi Al-qur’an. Melaknat dan berkoar koar diatas mimbar, lucunya, dikatakan ini adalah ustadz besar dan melupakan kiyai besar di pondok pesantren. Padahal, Rasul tidak pernah berdakwan dengan ujaran kebencian. Lebih celaka lagi, hari ini ujaran kebencian atas nama Nabi dan Rasulpun terjadi. Bisa jadi, banyak ustadz yang disorot media, yang bisa jadi inspirasi dakwahnya lahir di kamar mandi, lalu menjadi bahan ceramah.
Mengembalikan esensi ajaran islam salah satunya dengan media literasi. Dengan Menulis maka ilmu berkembang dan abadi, mencipta karakter ilmiah. Lemahnya literasi ditandai dengan kecenderungan premanisme suka bertengkar. Setiap argumentasi tidak dipertentangkan melalui perspektif yang beragam. Jadi orang yang sedikit-sedikit bertengkar adalah ciri kelemahan literasi.
Jakarta, 24 Maret 2019
Tulisan-tulisannya sangat inpiratif, mendobrak tradisi pemahaman selama ini yg monoton, jumud dan takut dg kemerdekaan berfikir. Mohon kerjasamanya untuk mengirim tulisan2 pemikiran aktual, demi penyebaran pemahaman ilmiah, santun dan menggugah.